1. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum, itulah bunyi dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI tahun 1945
setelah amandemen. Bunyi pasal ini menandakan bahwa indonesia pada dasarnya
merupakan negara yang menganut paham konstitusionalisme.Pemikiran
Konstitusionalisme sendiri merupakan sebuah pemikiran yang menghendaki
pembatasan kekuasaan yang dilakukan oleh
hukum lebih khusus lagi melalui konstitusi.
Menurut Carl J Frederich,
Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah adalah suatu kumpulan
aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat yang tunduk pada beberapa
pembatasan untuk menjamin kekuasaan yang diperlukan pemerintahan itu tidak
disalahgunakan oleh orang-orang yang ditugasi memerintah. Oleh Karena itu
pemerintah (Negara) sebagai Penguasa
atas rakyat maka kekuasaannya haruslah dibatasi oleh konstitusi, sehingga dalam
melaksanakan kekuasaannya negara tidaklah dapat bertindak sewenang-wenang namun
haruslah berdasarkan pada konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of
the land).
Salah satu sarana untuk
mewujudkan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum, yang lebih khusus lagi
sesuai dengan konstitusi,maka diperlukan sebuah lembaga yang mengawal agar
segala tindakan negara sejalan dengan konstitusi sebagai sebagai hukum
tertinggi (supreme law of the land) dan agar hak-hak konstutional rakyat tidak
dilanggar. Untuk itu setelah amandemen UUD 1945 dibentuk Mahkamah Konstitusi
(MK) sebuah lembaga sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
(yudikatif) yang bertujuan sebagai pengawal agar segala tindakan negara sejalan
dengan konstitusi (Guardian Of
Constitution).
Dalam menjalankan peranannya
sebagai pengawal konstitusi maka MK diberikan kewenangan oleh UUD 1945b yaitu
dalam Pasal 24C ayat 1 , adapun kewenangannya adalah untuk mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk.
1)
menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2)
memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3)
memutus
pembubaran partai politik
4)
memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
5)
Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pada Pasal 24 C ayat
1 UUD NRI 1945 tersebut maka salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pengujian UU terhadap UUD 1945 ini sering disebut dengan
istilah Judicial Review atau Constitusional Review.Dalam melakukan “Judicial Review”
UU terhadap UUD maka MK Konstitusi hanya mempunyai Hak untuk menyatakan batal
atau tidak sah UU tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat 1 UU
No. 24 tahun 2003 jo UU No. 8 tahun 2011, yang berbunyi.
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang
amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”
Dari pasal ini dapat disimpulkan
bahwa dalam memutus suatu perkara mengenai Pengujian UU terhadap UUD maka MK
hanya dapat menyatakan dalam amar putusannya bahwa materi muatan dari bagian
atau secara keseluruhan UU bertententangan dengan UUD dan bagian atau
keseluruhan UU tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Peran MK yang
seperti inilah yang disebut sebagai a negative legislator yang berarti MK berperan
sebagai sebagai pembatal sebuah norma dari sebuah UU.Istilah ini sebagai lawan
dari Parlemen (DPR) yang merupakan a positive legislator yang berarti pembentuk
sebuah norma. Akan tetapi di dalam praktek
Mahkamah Kontitusi sering berperan sebagai positive legislator dengan membuat
putusan yang bersifat mengatur (positive legislator)Sebagai contoh MK ikut
mengatur dalam melalui putusan yang bersifat konstitusional bersyarat.Adapun
Putusan konstitusional bersyarat adalah sebuah putusan yang menyatakan bahwa
suatu ketentuan UU tidak bertentangan dengan konstitusi dengan persyaratan
pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan
UU untuk memperhatikan penafsiran MK atas konstitusionalitas ketentuan UU yang
diuji tersbut.
Berdasarkan atas masalah inilah
dibuat tulisan sederhana ini untuk mengkaji apakah mk sebenarnya memiliki
kewenangan untuk membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislator).
2. Pembahasan
Secara normatif berdasarkan pada
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Jo UU No. 8 Tahun 2011.Pada dasarnya pembentuk
undang-undang hendak menjadikan MK hanya sebagai “negative legislator”
(pembatal norma ) saja.Hal ini karena kewenangan untuk membentuk norma
(undang-undang) pada dasarnya hanyalah milik lembaga legislatif (DPR).
Ini terlihat dari ketentuan pasal
57 ayat (1) dan (2) dimana dijelaskan mengenai bagaimana bentuk putusan suatu perkara mengenai judicial
review undang-undang terhadap UUD itu di , yaitu sbb :
Pasal 57 ayat (1)
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang
amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”
Pasal 57 ayat (2)
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang
amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.”
Pada pasal 57 ayat (1), tersbut
mengatur mengenai bentuk atas putusan Judicial Review UU terhadap UUD jika yang
dilakukan adalah Uji Materiil UU terhadap UUD, sedangkan Pada pasal 57 ayat (2)
, tersebut mengatur mengenai bentuk putusan putusan Judicial Review UU terhadap
UUD jika yang dilakukan adalah Uji Formil UU terhadap UUD.
Dari ketentuan 2 pasal ini dapat
kita simpulkan bahwa pada dasarnya pembentuk undang-undang hendak menginginkan
agar bentuk putusan MK hanyalah sekedar menyatakan suatu uu bertentangan dengan
UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (null and void) tanpa
adanya embel-embel lain baik itu berupa penafsiran yang merupakan persyaratan
pemaknaan atau lain-lain putusan yang di dalamnya memuat pengaturan.
Ini diperkuat dengan keinginan
Pembentuk Undang-Undang untuk membatasi kewenangan MK dalam memberikan putusan
atas Judicial review UU terhadap UUD. Di dalam Pasal 57 ayat 2a UU No. 8 tahun
2011 tentang perubahan UU MK, dinyatakan
“Putusan Mahkamah Konstitusi
tidak memuat:
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma
dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 2a ini kian menunjukan
bahwa pada dasarnya Pembentuk Undang-Undang hanya ingin menjadikan MK sebagai
“negative legislator” (pembatal norma) saja tanpa mencampuri urusan-urusan yang
seharusnya menjadi pekerjaan lembaga legislatif.Akan tetapi kemudian pasal ini
dibatalkan oleh MK karena mengganggap mengganggu kebebasan hakim MK dalam
memutus suatu perkara
Pendapat Salah satu Pakar HTN
yang merupakan Mantan Hakim MK Mahfud MD mengatakan bahwa salah satu rambu-rambu
pembatas kewenangan MK adalah “MK tak boleh memutus atas apa yang tak diminta,
tak boleh membatalkan hal-hal yang oleh UUD
diatribusikan oleh untuk diatur oleh lembaga legislatif, dan tidak boleh
membuat putusan yang bersifat mengatur, kalau MK melakukan salah satu dari tiga
hal tersebut, berarti ia telah masuk ke ranah legislatif.
Menurut Mahfud MD Dalam membuat
putusan MK tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur .MK hanya boleh
menyatakan sebuah UU atau sebagian isinya bertentangan dengan bagian tertentu
didalam UUD.Betapapun MK Mempunyai Pemikiran yang baik untuk mengatur sebagai
alternatif atas UU atau sebagian isi UU yang dibatalkannya ,maka hal itu tak
boleh dilakukan sebab urusan mengatur itu adalah hak lembaga legislatif.
Dari pendapat tersebut dapat kita
ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya MK merupakan sebuah lembaga yang didesign
sebagai lembaga yang berwenang membatalkan norma (negative legislator) dan
tidak boleh ikut serta dalam membentuk norma melalui penafisran sebagai pengganti
norma yang dibatalkan melalui putusan
yang bersifat mengatur ( positive legislator).Hal ini karena kewenangan untuk
membentuk norma ( hanyalah dimiliki oleh lembaga legislatif)
Namun disisi lain ketika sebuah
norma itu dibatalkan, maka kemungkinan akan terjadi kekosongan hukum
(rechtvakuuum) terhadap norma yang dibatalkan, Apalagi jika ternyata norma
hukum yang dibatalakan tersebut mendesak untuk segera dilaksanakan.Sebagai
contoh dalam putusan MK dalam perkara no. Nomor 102/PUU-VII/2009 Pasal 28 dan
Pasal 111 ayat (1) UU 42/ 2008 tentang
Pilpres yang kemudian dibatalkan oleh MK
Dalam pertimbangan hukum putusan
tersebut, MK menyatakan bahwa hak-hak warga negara untuk memilih telah
ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konsfitusional warga negara
(constitutional rights of citizen) sehingga oleh karenanya hak konstitusional
tersebut tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan
prosedur administratif apapun, dalam hal ini mempersulit warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya. MK menilai bahwa
ketentuan yang mengharuskan seorang warga Negara terdaftar sebagai
pemilih dalam DPT adalah lebih merupakan prosedur administratif semata dan
karenanya pula tidak boleh hal administratif tersebut menafikan hal-hal yang
bersifat substansial, yang dalam hal ini adalah hak warga negara untuk memilih
(right to vote) dalam Pilpres.
Pada sisi lain, dalam konteks
Pilpres 2009, mendesaknya waktu pelaksanaan pemungutan suara Pilpres
menyebabkan pembenahan DPT melalui pemutakhiran data sangat sulit dilakukan
oleh KPU. Terkait dengan kondisi tersebut, dalam rangka tetap menjaga pemenuhan
hak konstitusional warga negara dan tidak menimbulkan kerugian hak
konstitusional warga negara, MK memandang bahwa penggunaan KTP atau Paspor yang
masih berlaku untuk memilih adalah solusi yang paling logis, bahkan juga umum
diterapkan dalam pemilu di negara-negara lain
dalam hal ini putusan itu dapat menjadi
pertimbangan sebagai ius
constituendum dalam pemilihan
pemilihan Presiden, atau pemilihan
kepada daerah. Tentu pilihan MK dalam waktu yang sangat mepet ini memiliki
banyak resiko dalam penyelenggaraan
pemilu, baik ditataran pelaksana pusat sampai di tingkat Tempat Pemungutan
Suara (TPS). Dalam konklusinya MK menyatakan bahwa Permohonan para Pemohon
terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 UU N0.42 Tahun 2008 beralasan hukum, namun MK
menilai bahwa permohonan para Pemohon adalah konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) sepanjang tidak
menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT
dalam Pilpres. Menyadari potensi-potensi kekacauan dalam penyelenggaraan
pemungutan suara dalam Pilpres tersebut, maka akhirnya MK melekatkan
seperangkat amar yang sesungguhnya mengandung muatan positive legislature (menemukan norma baru
dan bersifat mengatur) yang dituangkan dalam
amar putusan. Dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa Putusan MK No.
102/PUU-
VII/2009, didasarkan atas
pertimbangan:
1. Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU N0. 42
tahun 2008 telah menghilangkan hak memilih warga Negara yang telah berusia 17
tahun atau sudah kawin. Padahal, hak
memilih adalah hak yang dijamin konstitusi, maka penghapusan akan hak dimaksud
merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia dari
warga negara;
2. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam
masyarakat; dan
3. Menimbulkan kerugian hak konstitusional warga
negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan yang berlaku.
Dalam hal ini, menurut hemat
Penulis terdapat perubahan hukum secara instan dari ius consitutum ke ius
constituendum dan langsung menjadi ius
consitutum pada saat MK membuat aturan
dalam putusannya, MK telah melakukan praktik
judicial activism dalam rangka
menegakkan supremasi konstitusi dan demokrasi serta demi menegakkan keadilan
substantif.
Dalam contoh kasus ini dapat kita
lihat bahwa di satu sisi ternyata putusan MK yang bersifat mengatur ini
memiliki kebermanfaatan di masyarakat.Jika misalnya MK hanya membatalkan pasal
28 dan 111 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pilpres maka secara otomatis KPU harus
kemudian melakukan pembenahan DPT dan itu tentunya memakan waktu yang lama dan
jika kemudian pasal yang dibatalkan itu harus direvisi lagi oleh lembaga
legislatif (DPR) tentu saja akan memakan waktu yang lama juga, sehingga
kemudian MK menyatakan pasal tersebut konstitusional bersyarat dengan
melekatkan sebuah amar yang bersifat mengatur yakni dianggap “konstitusional ,
sepanjang memperbolehkan pihak yang tidak terdaftar di DPT dapat memilih
menggunakan KTP atau Paspor”.
Oleh karena itu pada dasarnya
Putusan MK yang bersifat mengatur sendiri pun memiliki kemanfaatan terutama
untuk mengisi kekosongan hukum terhadap norma yang dibatalkan dan norma
yang sedang diuji dan akan dibatalkan
tersebut mendesak untuk dilaksanakan.Selain itu pula putusan MK yang mengatur
tersbut dapat pula menjadi ius contituendum , yang dapat dijadikan pertimbangan
hukum bagi DPR untuk melakukan revisi terhadap pasal-pasal dari undang-undang
yang dibatalkan tersebut. Jika kita lihat pada Pasal 10 ayat 1d menyatakan
bahwa “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang dapat berisi
mengenai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi”, sehingga pada
dasarnya putusan mk yang bersifat mengatur (positive legislator) ini dapat saja diperbolehkan karena ia dapat
dijadikan pertimbangan hukum bagi pembentuk undang-undang (DPR).
3. Kesimpulan
Berdasarkan Pembahasan tersebut
pada dasarnya memang secara normatif MK hanya dibentuk sebagai sebuah “negative
legislator” (pembatal norma) . Hal ini dikarenakan hak untuk membentuk norma
(undang-undang) hanyalah dimiliki oleh lembaga legislatif (DPR) sebagai“positive
legislator”.
Akan tetapi disisi lain Putusan
MK yang bersifat positive legislator ini kemudian dapat mendatangkan
kemanfaatan terutama jika ternyata norma yang sedang di uji dan akan dibatalkan
tersebut mendesak untuk segera dilaksnakan dan
akan terjadi kekosongan hukum (rechtvakuum) jika norma tersbut
dibatalkan.
Oleh karenannya Penulis
berkesimpulan bahwa pada dasarnya putusan mk yang bersifat mengatur (positive
legislator) ini boleh saja di keluarkan oleh MK namun tentunya harus dibatasi
dengan berbagai persyaratan tertentu.Adapun menurut penulis syarat-syarat yang
dapat dijadikan alasan bagi MK untuk
membuat putusan yang bersifat mengatur (postive legislator) tersebut adalah sbb
:
1.
Norma
yang diuji oleh MK berada dalam kondisi mendesak untuk segera dilaksanakan,
2.
Adanya
kekosongan hukum (rechtvacuum) jika norma tersbut dibatalkan dimungkinkan akan
terjadi chaos (kekacauan) dalam masyarakat jika kekosongan hukum tersebut tidak
segera di isi
3.
DPR
tidak mungkin dapat membuat aturan dalam waktu yang relatif singkat.
4.
Putusan
MK yang bersifat positive legislature, dilaksanakan hanya untuk satu kali
dan/atau sampai pembentuk UU, membuat penggantinya.
Martitah, D. (2013). Mahkamah konstitusi dari negative legislatre ke positif
legislature. Semarang: Konstitusi Press
Mahfud
MD., M. (2009). Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ,
Mahfud
MD., M. (2009). Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
,
Mahkamah Konstitusi, P.
(2009). putusan 102/PUU-VII/2009. MK, Jakarta