Rabu, 30 Juli 2014

Ramadhan dan Syawal : Keseimbangan antara Kesalehan Pribadi dan Kesalehan Sosial



Ramadhan dan Syawal adalah dua bulan agung yang keduanya ditunggu-tunggu hadirnya oleh segenap muslim di dunia. Ramadhan yang merupakan bulan dimana Allah swt membuka pintu Pahala dan Ampunan seluas-luasnya bagi setiap manusia.Tiap-tiap ibadah yang dilakukan pada hari-hari ramadhan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah swt, membuat setiap muslim menunggu-nunggu hadirnya penghulu dari segala bulan yaitu bulan Ramadhan.

Syawal yang merupakan bulan penuh kemenangan. terdapat hari raya idul fitri didalamnya, dimana setiap muslim setelah berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu selama sebulan penuh diharapkan memperoleh penghapusan dosa dan mendapat pahala dari Allah swt. Berdasarkan pada tradisi yang ada pula sudah menjadi kebiasaan bagi setiap muslim untuk bersilaturahim , saling mengunjungi dan saling memaafkan antara satu sama lainnya.

Kedua bulan yang berdampingan ini terdapat makna kesalehan pribadi dan kesalehan sosial bagi tiap-tiap manusia yang tercermin dari ibadah-ibadah serta tradisi-tradisi yang dilakukannya.

Pada bulan Ramadhan tiap-tiap muslim berusaha untuk mendekatkan diri secara personal kepada allah. Tiap-tiap muslim berusaha untuk memperbaiki dan memperkuat hubunganya kepada allah melalui ibadah-ibadah mahdah seperti puasa, memperbanyak sholat , memperbanyak dzikir , membaca dan mentadaburi al-quran serta melakukan itikaf guna semakin  memperkuat hubungannya kepada allah (habluminnallah) adalah bentuk-bentuk kesalehan pribadi yang bertujuan untuk memperkuat hubungan baik  kepada allah, yang mungkin sempat renggang pada bulan-bulan sebelumnya atau sekedar untuk merperkuat hubunganya yang baik kepada Allah swt.

Di bulan ramadhan juga tiap-tiap muslim berusaha untuk memperkuat kesalehan sosial. Salah satunya adalah dengan memberikan bantuan pada sesamanya yang membutuhkan seperti misalnya melalui pemberian shadaqoh, infak dan zakat fitrah yang kesemuanya selain diperuntukan untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan kepada Allah juga untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan baikn antara sesama manusia (hablumminanas). Ibadah seperti Shalat Tarawih  selain juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah (habluminnallah) juga merupakan sarana bagi kita untuk bersilaturahim.Hal ini karena pada tiap-tiap malam kita dapat berkumpul bersama-sama bertemu untuk mengerjakan sholat dan mengerjakan ibadah lain setelahnya seperti pengajian malam , itikaf bersama dsb. yang dimana hal tersebut tidak akan pernah kita lakukan pada bulan-bulan sebelumnya.

Selain ibadah juga terdapat tradisi-tradisi yang sifatnya baik dan juga dapat memperkuat hubungan sesama manusia (habluminannas) yang hanya biasa kita lakukan pada bulan Ramadhan dan Syawal. Misalnya Agenda Iftar  Bersama (buka puasa bersama) yang sering dijadikan momentum bagi teman-teman yang sudah lama tidak berkumpul untuk kembali bertemu menjalin silaturahmi. Agenda mudik lebaran yang dijadikan sarana untuk bertemu sanak saudara yang mungkin sulit bagi kita untuk bertemu pada hari-hari biasa.Selain itu juga kebiasaan saling mengunjungi di hari raya lebaran antara keluarga , kerabat, tetangga, teman-teman, kesemuanya pada dasarnya diperuntukkan untuk memperkuat hubungan kita terhadap sesama manusia dalam rangka pembentukan kesalehan sosial dalam diri kita.

Inilah ibadah-ibadah serta tradisi-tradisi yang biasanya kita lakukan pada bulan ramadhan dan syawal yang mungkin tanpa kita sadari kesemuanya bermuara pada pembentukkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial pada diri kita.Kesalehan pribadi dan Kesalehan sosial yang dibentuk melalui perbaikan dan penguatan hubungan baik kepada Allah swt dan hubungan baik kepada Sesama manusia.Di kedua bulan mulia ini manusia hendak diarahkan agar membentuk keseimbangan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.Ini bertujuan agar manusia tidak hanya melulu mengutamakan urusan yang bersifat duniawi daripada yang bersifat ukhrawi dan juga sebaliknya tidak hanya melulu mengutamakan urusan yang sifatnya duniawi daripada yang bersifat ukhrawi.

Hal ini sebagaimana Firman Allah swt sbb.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)

Dan di dalam  Rasulullah hadist riwayat Ibnu Asakir tentang keseimbangan hidup didunia dan akhirat.

لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاخِرَتِهِ وَلاَ اخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتّى يُصِيْبُ مِنْهُمَاجَمِيْعًا فَاِنَّ الدَّنْيَا بَلَاغٌ اِلَى اْلاخِرَةِ وَلَاتَكُوْنُوْا كَلًّ عَلَى النَّاسِ
                                                                                                 
"Dari Anas ra, bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda, "Bukanlah yang terbaik diantara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan akhiratnya, dan bukan pula (orang yang terbaik) orang yang menhinggalkan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara) yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain."(HR. Ibnu Asakir).


Pada dasarnya , Allah swt dan Rasul-Nya mengajarkan pada kita agar menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat.Hendaknya setiap  urusan keduniaan yang kita lakukan selalu mendukung kita untuk mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat nanti.Hal itu tentunya dilakukan dengan mentawazunkan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial  dalam bentuk memperbaiki dan memperkuat hubungan baik Terhadap Allah (Hablumminnallah) dan Hubungan baik terhadap sesama manusia (Hablumminannas).

Inilah sedikit nasihat yang mungkin dapat penulis sampaikan , dan semoga dapat mendatangkan kebaikan terutama untuk diri penulis pribadi dan pada diri setiap insan yang membacanya.Tak lupa juga penulis memohon maaf dengan hati yang tulus jika memang terdapat kesalahan dalam tulisan ini dan memohon kepada setiap insan yang paham untuk memperbaiki kesalahan yang ada di dalam tulisan ini .Karena Sesungguhnya Kebenaran datangnya dari Allah swt dan Kesalahan datang dari pribadi penulis.

Akhirulkalam, di hari yang penuh kemenangan ini penulis ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435. Semoga di hari kemenangan ini kita  tetap  istiqomah dalam ketaataan pada Allah swt.


Wallahu A'lam Bishawab

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H,
Taqoballahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum
Minal Aidzin wal faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin.


Created By : Amar Fatih, 
1 Syawal 1435 H
28  Juli  2014 M 

Daftar Bacaan :







Minggu, 25 Mei 2014

Analisis Yuridis Kewenangan MK dalam Membuat Putusan yang bersifat Mengatur (Positive Legislator)


1.      Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, itulah bunyi dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 setelah amandemen. Bunyi pasal ini menandakan bahwa indonesia pada dasarnya merupakan negara yang menganut paham konstitusionalisme.Pemikiran Konstitusionalisme sendiri merupakan sebuah pemikiran yang menghendaki pembatasan kekuasaan  yang dilakukan oleh hukum lebih khusus lagi melalui konstitusi.

Menurut Carl J Frederich, Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah adalah suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat yang tunduk pada beberapa pembatasan untuk menjamin kekuasaan yang diperlukan pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang ditugasi memerintah. Oleh Karena itu pemerintah  (Negara) sebagai Penguasa atas rakyat maka kekuasaannya haruslah dibatasi oleh konstitusi, sehingga dalam melaksanakan kekuasaannya negara tidaklah dapat bertindak sewenang-wenang namun haruslah berdasarkan pada konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land).[1]

Salah satu sarana untuk mewujudkan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum, yang lebih khusus lagi sesuai dengan konstitusi,maka diperlukan sebuah lembaga yang mengawal agar segala tindakan negara sejalan dengan konstitusi sebagai sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land) dan agar hak-hak konstutional rakyat tidak dilanggar. Untuk itu setelah amandemen UUD 1945 dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebuah lembaga sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang bertujuan sebagai pengawal agar segala tindakan negara sejalan dengan konstitusi (Guardian Of  Constitution).

Dalam menjalankan peranannya sebagai pengawal konstitusi maka MK diberikan kewenangan oleh UUD 1945b yaitu dalam Pasal 24C ayat 1 , adapun kewenangannya adalah untuk mengadili pada tingkat  pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk.

1)      menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2)      memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3)      memutus pembubaran partai politik
4)      memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
5)      Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah   melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Berdasarkan pada Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI 1945 tersebut maka salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujian UU terhadap UUD 1945 ini sering disebut dengan istilah Judicial Review atau Constitusional Review.Dalam melakukan “Judicial Review” UU terhadap UUD maka MK Konstitusi hanya mempunyai Hak untuk menyatakan batal atau tidak sah UU tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat 1 UU No. 24 tahun 2003 jo UU No. 8 tahun 2011, yang berbunyi.
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”

Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa dalam memutus suatu perkara mengenai Pengujian UU terhadap UUD maka MK hanya dapat menyatakan dalam amar putusannya bahwa materi muatan dari bagian atau secara keseluruhan UU bertententangan dengan UUD dan bagian atau keseluruhan UU tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Peran MK yang seperti inilah yang disebut sebagai a negative legislator yang berarti MK berperan sebagai sebagai pembatal sebuah norma dari sebuah UU.Istilah ini sebagai lawan dari Parlemen (DPR) yang merupakan a positive legislator yang berarti pembentuk sebuah norma. Akan tetapi di dalam praktek Mahkamah Kontitusi sering berperan sebagai positive legislator dengan membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislator)Sebagai contoh MK ikut mengatur dalam melalui putusan yang bersifat konstitusional bersyarat.Adapun Putusan konstitusional bersyarat adalah sebuah putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak bertentangan dengan konstitusi dengan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk memperhatikan penafsiran MK atas konstitusionalitas ketentuan UU yang diuji tersbut.[2]

Berdasarkan atas masalah inilah dibuat tulisan sederhana ini untuk mengkaji apakah mk sebenarnya memiliki kewenangan untuk membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislator).




2.   Pembahasan

Secara normatif berdasarkan pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Jo UU No. 8 Tahun 2011.Pada dasarnya pembentuk undang-undang hendak menjadikan MK hanya sebagai “negative legislator” (pembatal norma ) saja.Hal ini karena kewenangan untuk membentuk norma (undang-undang) pada dasarnya hanyalah milik lembaga legislatif (DPR).


Ini terlihat dari ketentuan pasal 57 ayat (1) dan (2) dimana dijelaskan mengenai bagaimana  bentuk putusan suatu perkara mengenai judicial review undang-undang terhadap UUD itu di , yaitu sbb :

 Pasal 57 ayat (1)

“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”


Pasal 57  ayat (2)

“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”


Pada pasal 57 ayat (1), tersbut mengatur mengenai bentuk atas putusan Judicial Review UU terhadap UUD jika yang dilakukan adalah Uji Materiil UU terhadap UUD, sedangkan Pada pasal 57 ayat (2) , tersebut mengatur mengenai bentuk putusan putusan Judicial Review UU terhadap UUD jika yang dilakukan adalah Uji Formil UU terhadap UUD.

Dari ketentuan 2 pasal ini dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya pembentuk undang-undang hendak menginginkan agar bentuk putusan MK hanyalah sekedar menyatakan suatu uu bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (null and void) tanpa adanya embel-embel lain baik itu berupa penafsiran yang merupakan persyaratan pemaknaan atau lain-lain putusan yang di dalamnya memuat pengaturan.

Ini diperkuat dengan keinginan Pembentuk Undang-Undang untuk membatasi kewenangan MK dalam memberikan putusan atas Judicial review UU terhadap UUD. Di dalam Pasal 57 ayat 2a UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan UU MK, dinyatakan

“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
a.  amar selain sebagaimana dimaksud pada      ayat (1) dan ayat (2);
b.  perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan  dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”


Pasal 2a ini kian menunjukan bahwa pada dasarnya Pembentuk Undang-Undang hanya ingin menjadikan MK sebagai “negative legislator” (pembatal norma) saja tanpa mencampuri urusan-urusan yang seharusnya menjadi pekerjaan lembaga legislatif.Akan tetapi kemudian pasal ini dibatalkan oleh MK karena mengganggap mengganggu kebebasan hakim MK dalam memutus suatu perkara

Pendapat Salah satu Pakar HTN yang merupakan Mantan Hakim MK Mahfud MD mengatakan bahwa salah satu rambu-rambu pembatas kewenangan MK adalah “MK tak boleh memutus atas apa yang tak diminta, tak boleh membatalkan hal-hal yang oleh UUD  diatribusikan oleh untuk diatur oleh lembaga legislatif, dan tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, kalau MK melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, berarti ia telah masuk ke ranah legislatif.[3]

Menurut Mahfud MD Dalam membuat putusan MK tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur .MK hanya boleh menyatakan sebuah UU atau sebagian isinya bertentangan dengan bagian tertentu didalam UUD.Betapapun MK Mempunyai Pemikiran yang baik untuk mengatur sebagai alternatif atas UU atau sebagian isi UU yang dibatalkannya ,maka hal itu tak boleh dilakukan sebab urusan mengatur itu adalah hak lembaga legislatif.

Dari pendapat tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya MK merupakan sebuah lembaga yang didesign sebagai lembaga yang berwenang membatalkan norma (negative legislator) dan tidak boleh ikut serta dalam membentuk norma melalui penafisran sebagai pengganti norma yang dibatalkan  melalui putusan yang bersifat mengatur ( positive legislator).Hal ini karena kewenangan untuk membentuk norma ( hanyalah dimiliki oleh lembaga legislatif)

Namun disisi lain ketika sebuah norma itu dibatalkan, maka kemungkinan akan terjadi kekosongan hukum (rechtvakuuum) terhadap norma yang dibatalkan, Apalagi jika ternyata norma hukum yang dibatalakan tersebut mendesak untuk segera dilaksanakan.Sebagai contoh dalam putusan MK dalam perkara no. Nomor 102/PUU-VII/2009 Pasal 28 dan Pasal  111 ayat (1) UU 42/ 2008 tentang Pilpres yang kemudian dibatalkan oleh MK[4]


Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, MK menyatakan bahwa hak-hak warga negara untuk memilih telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konsfitusional warga negara (constitutional rights of citizen) sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun, dalam hal ini mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. MK menilai bahwa  ketentuan yang mengharuskan seorang warga Negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT adalah lebih merupakan prosedur administratif semata dan karenanya pula tidak boleh hal administratif tersebut menafikan hal-hal yang bersifat substansial, yang dalam hal ini adalah hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam Pilpres.
Pada sisi lain, dalam konteks Pilpres 2009, mendesaknya waktu pelaksanaan pemungutan suara Pilpres menyebabkan pembenahan DPT melalui pemutakhiran data sangat sulit dilakukan oleh KPU. Terkait dengan kondisi tersebut, dalam rangka tetap menjaga pemenuhan hak konstitusional warga negara dan tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara, MK memandang bahwa penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih adalah solusi yang paling logis, bahkan juga umum diterapkan dalam pemilu di negara-negara lain  dalam hal ini putusan itu dapat menjadi  pertimbangan sebagai  ius constituendum  dalam pemilihan pemilihan  Presiden, atau pemilihan kepada daerah. Tentu pilihan MK dalam waktu yang sangat mepet ini memiliki banyak resiko dalam  penyelenggaraan pemilu, baik ditataran pelaksana pusat sampai di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dalam konklusinya MK menyatakan bahwa Permohonan para Pemohon terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 UU N0.42 Tahun 2008 beralasan hukum, namun MK menilai bahwa permohonan para Pemohon adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak   menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pilpres. Menyadari potensi-potensi kekacauan dalam penyelenggaraan pemungutan suara dalam Pilpres tersebut, maka akhirnya MK melekatkan seperangkat amar yang sesungguhnya mengandung muatan  positive legislature (menemukan norma baru dan bersifat mengatur) yang dituangkan dalam  amar putusan. Dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa Putusan MK No. 102/PUU-
VII/2009, didasarkan atas pertimbangan: [5]
1.  Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU N0. 42 tahun 2008 telah menghilangkan hak memilih warga Negara yang telah berusia 17 tahun atau sudah  kawin. Padahal, hak memilih adalah hak yang dijamin konstitusi, maka penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia dari warga negara;
2.  Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat; dan          
3.  Menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan yang berlaku.

Dalam hal ini, menurut hemat Penulis terdapat perubahan hukum secara instan dari ius consitutum ke ius constituendum dan langsung menjadi  ius consitutum  pada saat MK membuat aturan dalam putusannya, MK telah melakukan praktik  judicial activism  dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi dan demokrasi serta demi menegakkan keadilan
substantif.

Dalam contoh kasus ini dapat kita lihat bahwa di satu sisi ternyata putusan MK yang bersifat mengatur ini memiliki kebermanfaatan di masyarakat.Jika misalnya MK hanya membatalkan pasal 28 dan 111 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pilpres maka secara otomatis KPU harus kemudian melakukan pembenahan DPT dan itu tentunya memakan waktu yang lama dan jika kemudian pasal yang dibatalkan itu harus direvisi lagi oleh lembaga legislatif (DPR) tentu saja akan memakan waktu yang lama juga, sehingga kemudian MK menyatakan pasal tersebut konstitusional bersyarat dengan melekatkan sebuah amar yang bersifat mengatur yakni dianggap “konstitusional , sepanjang memperbolehkan pihak yang tidak terdaftar di DPT dapat memilih menggunakan KTP atau Paspor”.

Oleh karena itu pada dasarnya Putusan MK yang bersifat mengatur sendiri pun memiliki kemanfaatan terutama untuk mengisi kekosongan hukum terhadap norma yang dibatalkan dan norma yang  sedang diuji dan akan dibatalkan tersebut mendesak untuk dilaksanakan.Selain itu pula putusan MK yang mengatur tersbut dapat pula menjadi ius contituendum , yang dapat dijadikan pertimbangan hukum bagi DPR untuk melakukan revisi terhadap pasal-pasal dari undang-undang yang dibatalkan tersebut. Jika kita lihat pada Pasal 10 ayat 1d menyatakan bahwa “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang dapat berisi mengenai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi”, sehingga pada dasarnya putusan mk yang bersifat mengatur (positive legislator) ini  dapat saja diperbolehkan karena ia dapat dijadikan pertimbangan hukum bagi pembentuk undang-undang (DPR).


 3.      Kesimpulan

Berdasarkan Pembahasan tersebut pada dasarnya memang secara normatif MK hanya dibentuk sebagai sebuah “negative legislator” (pembatal norma) . Hal ini dikarenakan hak untuk membentuk norma (undang-undang) hanyalah dimiliki oleh lembaga legislatif (DPR) sebagai“positive legislator”.

Akan tetapi disisi lain Putusan MK yang bersifat positive legislator ini kemudian dapat mendatangkan kemanfaatan terutama jika ternyata norma yang sedang di uji dan akan dibatalkan tersebut mendesak untuk segera dilaksnakan dan  akan terjadi kekosongan hukum (rechtvakuum) jika norma tersbut dibatalkan.

Oleh karenannya Penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya putusan mk yang bersifat mengatur (positive legislator) ini boleh saja di keluarkan oleh MK namun tentunya harus dibatasi dengan berbagai persyaratan tertentu.Adapun menurut penulis syarat-syarat yang dapat dijadikan alasan bagi MK untuk membuat putusan yang bersifat mengatur (postive legislator) tersebut adalah sbb :

1.             Norma yang diuji oleh MK berada dalam kondisi mendesak untuk segera dilaksanakan,
2.             Adanya kekosongan hukum (rechtvacuum) jika norma tersbut dibatalkan dimungkinkan akan terjadi chaos (kekacauan) dalam masyarakat jika kekosongan hukum tersebut tidak segera di isi
3.             DPR tidak mungkin dapat membuat aturan dalam waktu yang relatif singkat.
4.             Putusan MK yang bersifat positive legislature, dilaksanakan hanya untuk satu kali dan/atau sampai pembentuk UU, membuat penggantinya.







[1] Carl J. Friedrich , dalam miriam budiardjo , Dasar-Dasar Ilmu  Politik,Jakarta :Gramedia , 1993, hlm.57.
[2] Martitah, D. (2013). Mahkamah konstitusi dari negative legislatre ke positif legislature. Semarang: Konstitusi Press

[3] Mahfud MD., M. (2009). Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ,
[4] Mahfud MD., M. (2009). Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ,

[5] Mahkamah Konstitusi, P. (2009). putusan 102/PUU-VII/2009. MK, Jakarta