Di era globalisasi sekarang ini,
interaksi antar manusia dari berbagai penjuru dunia semakin banyak dan
intens.Pengaruh kemajuan teknologi dan sarana komunikasi yang semakin canggih
membuat berbagai pihak dari satu negara dengan negara lain yang memiliki
kecocokan kepentingan satu sama lain kemudian menjalin hubungan di berbagai
bidang.
Ditambah lagi dengan arus perpindahan
penduduk (migrasi) dari satu negara kenegara lain baik secara tetap maupun
untuk sementara membuat interaksi antar manusia dari berbagai negara semakin
pesat.Akibat interaksi ini pun kemudian berlanjut pada timbulnya hubungan hukum
antara pihak-pihak dari berbagai negara.
Hubungan Hukum itu pun terwujud dalam
hubungan hukum internasional yang bersifat privat maupun hubungan hukum yang
bersifat publik.
Hubungan hukum internasional yang
bersifat publik, contohnya dapat kita lihat pada kerjasama internasional yang di
wujudkan dalam bentuk perjanjian internasional antara negara.Hubungan hukum
publik berupa hubungan antar negara ini kemudian memacu timbulnya sebuah norma
hukum baru yang bersifat transnasional yang mengatur perhubungan anatar negara
yang disebut hukum internasional publik.
Hubungan hukum internasional yang
bersifat privat (perdata) , contohnya dapat kita lihat pada kontrak bisnis
antara perusahaan dari suatu negara dengan negara lain, perkawinan antara
seorang pria dan wanita yang berbeda kewarganegaraan, bisa juga perkawinan
antara pria dan wanita yang memiliki kewarganegaraan yang sama menikah di negara asing atau
seseorang yang berkewarganegaraan tertentu berdomisili di negara asing.Hubungan
Hukum ini kemudian memunculkan suatu hubungan hukum perdata yang bersifat internasional atau disebut
dengan hubungan hukum perdata internasional.
Adapun yang menjadi perbedaan di
antara keduanya adalah terlihat dari sumber hukumnya. Hubungan hukum
internasional publik bersumber pada norma-norma hukum internasional yang diakui
, sebagai mana diatur dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Makhkamah Internasional.[1]Selain
itu pula persoalan yang diatur dalam Hukum Internasional Publik adalah
persoalan yang bersifat publik, yang mengatur hubungan antara negara dengan
negara lain atau antara negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau
subjek hukum bukan negara satu sama lain.[2]
Pada Hukum Perdata Internasional yang
menjadi sumber hukum adalah Hukum Nasional (domestik) law dari pihak-pihak yang
berperkara hal ini dikarenakan tiap-tiap individu yang berbeda negara tunduk
pada hukum nasional negaranya masing-masing.Kata Internasional yang terdapat
pada hukum perdata internasional terletak pada unsur asing yang terdapat dalam
perkara hukum perdata internasional tersebut.Unsur asing tersebut dapat berupa
status personalitas (person) dari pihak-pihak yang berperkara atau unsur
teritorialitas tempat dimana peristiwa atau hubungan hukum tersebut terjadi.
Jadi, Pada dasarnya antara Hukum
Internasional dan Hukum Perdata Internasional tidak dapat disamakan .Hal ini karena terdapat
perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.Pertama ditinjau dari sumber hukumnya
Hukum Internasional Publik bersumber pada sumber hukum internasional yang diatur
dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.Berbeda dengan Hukum
Perdata Internasional yang bersumber pada hukum nasional (domestic law) dari
pihak-pihak yang terkait dengan perkara HPI tertentu.
Kedua dilihat dari sifat persoalan
atau perkara yang dihadapi maka hukum internasional publik mengatur persoalan
yang sifatnya publik, contohnya , kerja sama antarnegara , pendirian organisasi
internasional atu hubungan diplomatik dan konsuler antar negara.
Hal ini berbeda dengan Hukum Perdata
Internasional yang sifat persoalan atau perkara yang dihadapinya adalah hal-hal
yang bersifat perdata (privat) , contohnya , perkawinan campuran beda negara,
atau kontrak bisnis yang melibatkan pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Oleh karena yang menjadi subjek dalam
suatu perkara hukum perdata internasional, tunduk pada hukum nasionalnya
(domestic law) masing-masing, kemudian menyebabkan benturan yuridiksi antara
hukum nasional masing-masing subjek perkara hukum perdata internasional
tersebut untuk memberlakukan hukum mana yang akan diberlakukan.Dari hal ini maka peran Hukum Perdata Internasional
adalah untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan terhadap suatu
perkara yang di dalamnya terdapat unsur-unsur asing.
Dalam memecahkan sebuah perkara hukum
perdata internasional terdapat sebuah ajaran atau doktrin yang mengatur tentang
penunjukan kembali atau yang lebih familiar dengan sebutan renvoi.Secara umum
Renvoi dapat dikatakan sebagai penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut
oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah
HPI lex fori.[3]
Dalam hal ini ketika dalam pemecahan
suatu perkara hpi yang mengunakan renvoi, maka hakim (forum) yang mengadili
suatu perkara HPI pada awalnya berdasarkan lex fori melakukan penunjukan
terhadap hukum asing sebagai lex causae dalam penyelesaian perkara hpi
tersebut.Kemudian ternyata di dalam lex causae terdapat sebuah kaidah hpi yang
melakukan penunjukan kembali terhadap lex fori atau sistem hukum lain sebagai
hukum yang harusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Terkait dengan doktrin renvoi ini
maka penulis berusaha untuk menjelaskan penerapan single renvoi dalam sebuah
kasus hukum perdata internasional yang akan dibahas pada bagian
selanjutnya dari tulisan ini yang berusaha
untuk membahas bagaimana penerapan single renvoi dalam penyelesaian perkara HPI
dalam kasus The Forgo Case 1879.
Penyelesaian Sengketa The Forgo Case (1879)
Perkara The Forgo Case 1879 merupakan
perkara mengenai masalah waris yang diajukan ke pengadilan (forum) prancis.Awal
mula kasus ini dimulai dengan meninggalnya seorang pria berkewarganegaraan
Jerman (bavaria) yang bernama Forgo.Sejak usia 5 tahun forgo menetap di prancis
tanpa berupaya memperoleh tempat kediaman resmi (domicile) di prancis.Di
ketahui juga bahwa forgo merupakan anak luar kawin.Pada tahun 1879 ia meninggal
di prancis tanpa meninggalkan testamen (wasiat) , ia meninggalkan harta benda
berupa sejumlah benda-benda bergerak di prancis. Berdasarkan hukum prancis terkait dengan warisan anak luar kawin harta
warisan jatuh kepada negara.Akan tetapi menurut hukum jerman (bavaria) saudara-saudara kandung berhak untuk mendapat harta warisan dari
saudara kandungnya yang merupakan anak luar kawin.Terkait dengan harta
peninggalan forgo ini kemudian timbul tuntutan (gugatan) yang diajukan oleh
saudara-saudara kandungnya di pengadilan prancis terhadap pemerintah prancis.[1]
Untuk menyelesaikan perkara ini,
terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh hakim (forum)
prancis.Pertama tahapan yang harus dilakukan adalah hakim (forum) harus
menentukan apakah persoalan yang dihadapi ini merupakan perkara HPI atau bukan. Dalam hal ini hakim akan menghadapi
persoalan hukum dalam wujud sekumpula fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing (foreignt
elements).
Pada tahap ini hakim (forum)
menyadari fakta-fakta di dalam perkara yang menunjukan adanya keterkaitan
antara perkara denga tempat-tempat asing
(tempat-tempat di luar wilayah forum). Fakta-Fakta ini disebut dengan Titik
–Titik Pertalian Primer (Primary point of contact).Adanya titik-titik pertalian
primer ini dalam sebuah perkara menunjukan seseorang sedang menghadapi perkara
HPI.
Yang dimaksud dengan Titik –Titik
Pertalian Primer adalah unsur-unsur yang
menunjukan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa hukum perdata
internasional dan bukan suatu peristiwa
intern nasional.[2]Dapat
juga di definisikan bahwa titik-titik pertalian primer adalah fakta-fakta di
dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukan pertautan antara perkara
itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara
perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum
intern tempat itu.Unsur-unsur yang tergolong sebagai titik pertalian primer
adalah sebagai berikut.
a.
Kewarganegaraan
b.
Bendera kapal atau
pesawat
c.
Domisili
d.
Tempat kediaman
e.
Tempat kedudukan badan
hukum
f.
Pilihan hukum dalam
hubungan hukum internasional
g.
Tempat dilaksanakannya
perbuatan melawan hukum
h.
Tempat terletaknya benda[3]
Jika kita melihat lebih lanjut fakta
hukum pada kasus forgo diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
yang menjadi titik-titik pertalian primer adalah kewarganegaran dan tempat
kediaman sehari-hari (habitual residence).Dimana forgo merupakan seorang yang
berkewarganegaraan jerman (bavaria) sedangkan sehari-harinya ia berdiam (tempat
kediaman) di prancis.Jadi dapat disimpulkan pula bahwa kasus forgo ini
merupakan perkara HPI karena adanya benturan yurisdiksi antara hukum nasional
(domestic law) dari negara jerman dan prancis.
Setelah titik-titik pertalian primer
dari kasus tersebut diketahui, dan telah ditetapkan bahwa hal tersebut
merupakan perkara hukum perdata internasional, maka tahap yang harus
dilanjutkan adalah mementukan apakah hakim (forum) mempunyai kewenangan
yurisdiksional untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang
tersebut.Untuk menentukan hal ini maka hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan merupakan
bagian dari sistem HPI lex fori (sistem hukum negara asal hakim yangm memeriksa
perkara).
Dari kasus forgo tersebut diketahui bahwa perkara diajukan
kepada pengadilan (forum) prancis, oleh karena itu hakim (forum) prancis harus
menentukan apakah hakim prancis memiliki kewenangan/kompetensi yurisdiksional
untuk mengadili kasus forgo tersebut.Untuk menentukan apakah hakim (forum)
prancis berwenang , maka hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah atau asas
–asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari
sistem HPI lex fori (hukum acara pada pengadilan prancis).
Adapun kaidah atau asas-asas yang
mengatur tentang kewenangan yurisdiksional forum untuk mengadili suatu perkara
HPI , terdiri atas beberapa macam yaitu.
a) Asas
sequitor forum rei , bahwa gugatan diajukan ke pengadilan , tempat dimana
tergugat bertempat tinggal .
b) Asas Forum of convinience adalah suatu prinsip
bahwa pengajuan perkara sebaiknya dilakukan di tempat tergugat karena untuk
memberikan kemudahan kepada tergugat .Antara lain tergugat dapat melakukan
pembelaan.
c) Principle
effectiviness (asas efektifitas), adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara
sebaiknya diajukan ke pengadilan mana hakim akan mudah untuk melakukan eksekusi.
d) Asas
forum solutionis contractus yaitu asas
yang menjadi dasar penetapan yurisdiksi
bagi forum dari tempat mana suatu
perikatan dianggap telah dilaksanakan atau seharusnya dilaksanakan
e) Asas
pengadilan tempat pihak berkedudukan yang lebih lemah
Yaitu asas yang memberikan kewenangan
yurisdiksional pada pengadilan tempat
dimana pihak dalam transaksi hukum memiliki kedudukan lebih lemah,
khususnya pihak konsumen dalam transaksi –transaksi konsumen atau pihak buruh dalam
transaksi hubungan kerja.
f) Asas
Pengadilan yang dipilih oleh para pihak
Yaitu asas yang merupakan manifestasi
dari “asas kebebasan berkontrak”. Dimana para pihak dapat menentukan sendiri
pengadilan yang dianggap memiliki
yurisdiksi eksklusif untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang timbul dalam hubungan mereka.
g) Asas
forum rei sitae yaitu asas yang menjadi dasar penetapan kewenangan
yurisdiksional forum atas perkara yang menyangkut hak kebendaan atas
benda-benda tetap.
h) Asas
forum delicti , yaitu asas yang digunakan untuk penentuan adanya kewenangan
yurisdiksional dalam perkara perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
i)
Asas forum connexitatis , yaitu asas
yang memberikan kewenangan mengadili pada forum yang telah memiliki yurisdiksi
untuk memeriksa pokok perkara dan juga
gugat balik asas ini dapat digunaka
jika tidak ada forum lain yang memiliki yurisdiksi ekslusif atau
yurisdiksim karena pilihan para pihak.
j)
Asas forum aresti, yaitu asas pada
perkara yang menyangkut muatan atau kapal yang ditahan yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada
pengadilan dimana tempat kapal muatan itu ditahan
a) Tempat
terletaknya benda
b) Kewarganegaraan
c) domisili
pemilik benda bergerak
d) Tempat
dilangsungkannya perbuatan hukum
e) Tempat
terjadinya perbuatan melawan hukum
f) Tempat
diresmikan pernikahan
g) Tempat ditanda
tanganinya kontrak
h) Tempat
dilaksanakannya kontrak
i)
Pilihan hukum
j)
Bendera kapal atau pesawat
k) Tempat
kediaman
l)
Tempat kedudukan atau kebangsaan badan hukum
Dalam kasus forgo yang dihadapi hakim prancis ini maka hakim (forum) prancis
haruslah terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang terjadi. Diketahui bahwa
fakta-fakta hukum yang terjadi bahwa forgo yang merupakan seorang anak luar
kawin meninggal di prancis meninggalkan sejumlah harta warisan di
prancis.kemudian harta peninggalan tersbut di tuntut oleh saudara-saudara
kandungnya.Oleh karena itu kemudian berdasarkan kualifikasi fakta ini hakim
(forum) harus menentukan kualifikasi hukum berdasarkan kategori yuridik di
dalam lex fori, bahwa kasus ini merupakan gugatan mengenai hak dan kedudukan
ahli waris dari seorang anak luar kawin.
Setelah kualifikasi fakta dan
kualifikasi hukum dilakukan maka hakim kemudian menentukan kaidah HPI lex fori
yang tepat untuk perkara tersebut.Diketahui bahwa perkara terkait dengan
masalah ahli waris dari anak luar kawin maka yang digunakan adalah kaidah HPI
prancis yang relevan dengan perkara itu.Kaidah HPI Prancis yang relevan untuk
perkara forgo adalah sbb :
Dari kaidah HPI diatas maka diketahui
bahwa titik pertalian sekundernya adalah tempat diman pewaris menjadi warga
negara (kewarganegaraan atau lex patriae) ,yakni negara jerman (bavaria). Oleh karena itu
kemudian yang menjadi lex causae nya adalah hukum jerman (bavaria).
Setelah lex causae ditemukan maka
sebenarnya hakim (forum) tinggal memutus perkara dengan lex causae namun
persoalannya semakin rumit jika ternyata hakim jika kaidah HPI lex Causae
melakukan penunjukan kembali untuk digunakannya hukum lex fori.Hal ini lah yang
kemudian disebut dengan Renvoi (penunjukan kembali).
Adapun yang dimaksud dengan renvoi
(penunjukan kembali) adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI
dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.[2]
Munculnya
renvoi ini adalah ketika terjadi suatu masalah ketika hakim mencoba untuk mendefinisikan “apa yang dimaksud dengan menunjuk ke
arah suatu sistem hukum tertentu itu ?.
Dari hal ini kemudian timbul dua
pengertian yang berbeda yaitu :
Untuk
menjelaskan perbedaan antara sachnormenverweisung dengan gesamtverweisung ini
maka akan diberikan contoh sbb.
Berdasarkan
kasus HPI tertentu maka hukum yang
digunakan adalah hukum inggris, yang dipertanyakan apakah yang diartika hukum
inggris itu . dalam hal ini terdapat dua kemungkinan.
Jadi
dari contoh ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
sachnormenverweisung adalah hukum intern dari suatu negara sedangkan gesamtverweisung
merupakan kesluruhan sistem hukum termasuk
hukum inten dan kaidah HPI (kollisonsnormen).
Renvoi
hanya mungkin dilaksanakan jika kaidah HPI lex fori menunjuk ke arah suatu
sistem hukum asing dalam arti gesamtverweisung.Artinya, penunjukan itu
diarahkan kepada kaidah HPI asing yang dianggap relevan dengan perkara yang
sedang dihadapi.
Namun
suatu forum dapat dikatakan menerima atau menolak suatu penunjukan kembali atau
proses renvoi.Penerimaan atau penolakan renvoi adalah sikap atau policy yang
dianut oleh suatu sistem hukum tertentu atau seorang hakim tertentu .Hal ini
perlu di singgung untuk menegaskan bahwa suatu proses renvoi
betul-betul-merupakan tindakan oleh sebuah pengadilan /hakim yang dilandasi
proses berpikir hakim sendiri dan sama sekali tidak melibatkan forum asing yang
akan menunjuk kembali ke arah forum yang pertama.
Dalam
hal proses renvoi dijalankan oleh hakim maka terdapat beberapa kemungkinan yang
bisa terjadi.
Dari
uraian ini terlihat bahwa dalam HPI , orang mengenal dua jenis single renvoi,yakni :
Kembali
pada kasus forgo,ternyata hakim (forum) prancis ketika melakukan penunjukan ke
arah hukum jerman (bavaria) sebagai lex causae dimaksudkan kepada keseluruhan
sistem hukum jerman (bavaria) sehingga hal ini merupakan gesamtverweisung yang
mengarah pada kaidah HPI jerman (bavaria).Adapun di dalam sistem hukum jerman
(bavaria), kaidah-kaidah yang mengatur tentang perkara pewarisan ini adalah
sebagai berikut.
Dalam
kaidah HPI Jerman (Bavaria) :
“Bahwa persoalan pewarisan
benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat dimana pewaris
menjadi warga negara”.[1]
a) Penunjukan ke arah kaidah-kaidah
hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu.penunjukan semacam
ini dalam bahas jerman dinamakan sachnormenveweisung.
b) Penunjukan ke arah keseluruhan sistem
hukum tertentu , yang artinya prima
facie, adalah kaidah-kaidah HPI (kollisonsnormen) dari sistem hukum tersebut.penunjukan
semacam ini dinamakan gesamtverweisung.[3]
a) Hukum intern inggris (domestic
muncipal law) yang berlaku di negara inggris untuk hubungan hukum antara sesama
orang inggris atau.
b) Bukan saja hukum intern tetapi
ditambah dengan kaidah-kaidah HPI inggris, jadi termasuk di dalamnuya
kaidah-kaidahmengenai “Choice of Law” (HPI) Inggris.[4]
a) Jika kaidah HPI suatu sistem hukum
(lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum asing dan penunjukan langsung itu
dianggap sebagai sachnormenverweisung ke arah kaidah hukum intern dapat di
katakan bahwa hakim telah menolak renvoi.
b) Jika kaidah HPI suatu sistem hukum
(lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum asing dan penunjukan itu dianggap
sebagai gesamtverweisung (termasuk kaidah-kaidah HPI Asing) dan ada kemungkinan bahwan kaidah HPI sistem
hukum asing itu akan menunjuk kembali ke arah lex fori atau menunjuk lebih
lanjut ke arah sistem hukum ketiga .Penunjukan inilah yang disebut dengan
proses renvoi.
c) Apabila penunjukan kembali ke arah
lex fori dianggap sebagai penunjukan ke arah seluruh sistem hukum lex fori ,
termasuk kaidah HPI lex fori (gesamtverweisung) , fakta ini menunjukan bahwa
forum telah menolak renvoi.
d) Akan tetapi jika hakim (lex fori)
mengangap bahwa penunjukan kembali (atau lebih lanjut ) dianggap sebagai sachnormenverwesiung
dan mengarah pada kaidah-kaidah hukum intern lex fori (atau sistem hukum lain),
pengadilan (forum) dalam hal ini dianggap telah menerima renvoi.[5]
a) Remission
Remission
yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori .Karena itu,
dalam remission penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum ke kaidah
HPI asing (gesamtverweisung) karena sebelumnya
diketahui bahwa kaidah HPI asing itu dalam penunjukan kedua akan
menunjuk kembali kearah lex fori.Jika forum menerima renvoi , penunjukan
kembali ini akan dianggap sebagai sachnormverweisung ke arah hukum intern forum
lex fori.
b) Transmission
Transmission
yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing
lain. Dalam hal ini penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum lex
fori ke arah kaidah HPI asing (gesamtverweisung) yang sebelumnya telah
diketahui akan menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga . Karena hakim
(forum) berniat memberlakukan aturan hukum intern dari hukum ketiga itu ,
penunjukan kedua akan dianggap sebagai sachnormenverweisung.[6]
“Kaidah HPI jerman (bavaria) yang mengatur soal pewarisan menetapkan
bahwa pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum dari tempat dimana
pewaris bertempat tinggal (habitual residence).”[7]
Dalam kaidah Hukum intern Jerman (bavaria) :
“Hukum perdata intern jerman (bavaria) menetapkan bahwa saudar-saudar
kandung dari seorang anak luar kawin tetap berhak menerima harta peninggalan
dari anak luar kawin yang bersangkutan.”[8]
Jika
kasus ini diselesaikan dengan kaidah hukum intern lex causae (hukukm perdata
intern jerman (bavaria), maka saudara-saudara kandung dari forgo berhak
mendapatkan harta waris berupa benda bergerak peninggalan forgo.Namun karena
hakim prancis melakukan penunjukan ke arah lex causae yang dimaksudkan pada
keseluruhan sistem hukum jerman (bavaria) , maka hal ini mencakup kaidah HPI
jerman (bavaria).
Karena
kaidah HPI jerman (bavaria) mengatur bahwa dalam soal pewarisan benda-benda
bergerak harus tunduk pada hukum ditempat dimana pewaris bertempat tinggal dan
dalam hal ini forgo yang merupakan pewaris keseharianya bertempat tinggal di
prancis maka terjadi penunjukan kembali (renvoi) kepada hukum prancis sebagai
lex domicili forgo.
Kemudian
di dalam kasus ini karena hakim prancis mengangap penunjukan kembali (renvoi)
ini sebagai sachnormverweisung ke arah hukum perdata intern prancis, maka dalam
hal ini hakim prancis akan memberlakukan hukum perdata intern (code civil
prancis).
Berdasarkan
kaidah hukum perdata intern prancis yang mengatur soal pewarisan dikatakan
bahwa :
Maka
dapat disimpulkan bahwa pemerintah negara prancislah yang berhak atas harta
bergerak peninggalan forgo.Dalam hal ini tergugat yakni pemerintah prancis
dimenangkan oleh pengadilan prancis sedangkan pihak penggugat yakni
saudara-saudara kandung forgo telah dikalahkan.
“Harta peninggalan dari seorang anak luar kawin jatuh ke negara.”
Kesimpulan
Berdasarkan kasus Forgo diatas maka
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya di dalam kasus ini terjadi penerapan
proses renvoi (penunjukan kembali) dimana ketika hakim prancis berdasarkan
kaidah HPI lex fori melakukan penunjukan kepada lex causae yaitu hukum jerman
(bavaria) dimaksudkan kepada keseluruhan sistem jerman (gesamtverweisung)
sehingga dalam hal ini termasuk lah kaidah HPI jerman (bavaria).Namun Pada
kaidah HPI jerman (bavaria) kemudian melakukan penujukan kembali kepada hukum
prancis sehingga disini proses renvoi
(penunjukan kembali) pun terjadi.
Hal ini terlihat ketika kaidah HPI
Prancis mengatur bahwa , “Bahwa
persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana pewaris menjadi warga negara” yang kemudian kaidah ini menunjuk ke arah hukum
jerman (bavaria), (dikarenakan forgo berkewarganegaraan jerman (bavaria)),
sebagai keseluruhan sistem hukum (gesamtverweisung).Akan tetapi karena Kaidah
HPI Jerman (bavaria) mengatur bahwa, Kaidah HPI jerman (bavaria) yang
mengatur soal pewarisan menetapkan bahwa pewarisan benda-benda bergerak harus
tunduk pada hukum dari tempat dimana pewaris bertempat tinggal (habitual
residence)”, maka
terjadi penunjukan kembali (renvoi) ke arah hukum Prancis.
Dalam kasus ini jenis single renvoi
yang digunakan adalah remissions karena pada penunjukan yang pertama
berlangsung penunjukan dari kaidah HPI lex fori (prancis) ke arah kaidah HPI
lex causae (Jerman-Bavaria) (gesamtverweisung). Kemudian karena diketahui bahwa
kaidah HPI lex causae (jerman-bavaria) itu kemudian akan menunjuk ke arah lex fori dan hakim
(forum) prancis mengangap penunjukan kembali ke arah lex fori (hukum prancis)
itu merupakan penunjukan ke arah hukum perdata intern prancis
(sachnormenverweisung) maka hakim prancis akan memberlakukan hukum perdata
intern prancis .
[1] Hardjowahono,bayu
seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm
107-108
[2] Hardjowahono,bayu
seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 103
[3] Hardjowahono,bayu
seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 104
[4]
Gautama,Sudargo.Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia,Binacipta,Jakarta,1987 hlm 89-90
[5] Hardjowahono,bayu
seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm
104-105
[6] Hardjowahono,bayu
seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 105
[7]
Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra
Aditya,Bandung,2006 hlm 106
[8]
Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra
Aditya,Bandung,2006 hlm 106
[1]
Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra
Aditya,Bandung,2006 hlm 107-108
[2] Hartono,Sunaryati.Pokok-Pokok
Hukum Perdata Internasional,Putra bardin,Jakarta,
[3] http://asikinzainal.blogspot.com.br/2012/01/normal-0-false-false-false.html
[1] Yang
dimaksud pasal 38 ayat (1) statuta Makhkamah Internasional adalah terdiri dari
: 1). Perjanjian Internasional, 2)
Kebiasaan Internasional, 3) Prinsip Hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab, 4). Keputusan Pengadilan (yurisprudensi) internasional dan Doktrin (ajaran para sarjana yang terkemuka).
[2] Kusumaatmadja,Mochtar.Pengantar Hukum
Internasional.Alumni,Jakarta,2002,hlm 1-2
[3] Hardjowahono,bayu
seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 103