Kamis, 25 Oktober 2012

Bila Shalat ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.

Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]

Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.

Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]

Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.

Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)  mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]
Kesimpulan:
  • Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
  • Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
  • Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
  • Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
  • Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.  Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28 Dzulqo’dah 1430 H.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dari artikel Bila Shalat ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at — Muslim.Or.Id by null

Sumber Dalil :
[1]Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 5572.
[5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
[6] Dinukil dari http://dorar.net
[7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[9] HR. Muslim no. 878.
[10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta
Dari artikel Bila Shalat ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at — Muslim.Or.Id by null

Senin, 30 Januari 2012

Bentuk Negara Kesatuan atau Federal, Manakah yang Lebih Baik Bagi Indonesia.....?

Sebuah konsep dalam bentuk dan konteks apapun sebenarnya dibuat untuk kebaikan sang konseptor itu sendiri.karena secara logis tidak mungkin sebuah konsep itu diciptakan untuk keburukan sang konseptor itu sendiri.misalnya sebuah organisasi membuat konsep mengenai tujuan organisasi yang tidak mungkin konsep itu dibuat untuk keburukan organisasi, seorang anak yang sedang mengkonsep cara belajar bagi dirinya yang tidak mungkin dibuat untuk keburukan diri anak tsb.Sama halnya dengan negara , tentunya negara sebagai konseptor dari konsep kenegaraannya tidak mungkin menciptakan sebuah konsep yang membawa keburukan negara tersebut,pastilah konsep kenegaraan tersebut diciptakan untuk kebaikan negara tersebut agar seluruh rakyat yang ada di negara tersebut dapat hidup dengan makmur dan sejahtera .

Namun realitanya dalam pelaksanaan sebuah konsep seringkali tidak sesuai dengan harapan yang ingin diwujudkan, pertanyaannya apakah konsepnya yang salah atau dalam hal penerapan konsepnya yang salah sehingga harapan atau tujuan yang ingin diwujudkan tidak terwujud. Jika kita kembali pada hakikat penciptaan konsep itu sendiri sesungguhnya konsep itu diciptakan untuk kebaikan sang konseptor itu sendiri, jadi alangkah tidak mungkin konsep itu menjadi salah,tidak mungkin seorang konseptor membuat konsep yang salah sehingga membawa keburukan bagi diri konseptor itu sendiri. Jadi yang membuat pelaksanaan konsep itu tidak sesuai dengan harapan atau tujuan adalah karena kesalahan dalam pelaksanaan /penerapan konsep tersebut.
Dalam konteks mengenai konsep bentuk negara kesatuan dan federal, juga berlaku hal yang sama , karena kedua konsep bentuk negara ini pada hakikatnya diciptakan oleh setiap negara untuk kebaikan negara tersebut, jadi ketika realita menunjukan kondisi yang tidak sesuai dengan tujuan /harapan dari penciptaan konsep bentuk negara , sebenarnya bukan karena kesalahan atau buruknya konsep bentuk negara itu sendiri melainkan karena kesalahan dalam menerapkan konsep bentuk negara itu sendiri.
Sebagai bukti nyata bahwa tidak terwujudnya tujuan /harapan dari penciptaan konsep bentuk negara itu disebabkan karena kesalahan penerapan bukan konsep kita dapat melihat negara-negara maju seperti Amerika serikat dan inggris yang sukses dalam dengan konsep negara federal, selain itu kita juga dapat melihat bagaimana negara –negara maju seperti china ,jepang dan korsel yang sukses dengan konsep negara kesatuan. Hal ini menunjukan bahwa keberhasilan dan kegagalan suatu negara dalam mewujudkan tujuannya bukan ditentukan oleh konsep yang digunakan tetapi lebih kepada bagaimana sebuah negara dalam menerapkan konsep tersebut.
Dalam hal mengenai konsep bentuk negara yang mana yang lebih layak bagi Indonesia, sebenarnya kedua-duanya adalah konsep bentuk negara yang layak , karena pada hakikatnya setiap konsep bentuk negara diciptakan untuk kebaikan, yaitu untuk mewujudkan tujuan negara ,masalah berhasil atau tidaknya tujuan negara itu diwujudkan dalam suatu konsep tergantung pada bagaimana cara negara tsb menerapkan konsep bentuk negara untuk mewujudkan tujuan negaranya. Dan setiap konsep bentuk negara pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang dimana jika kekurangan dari konsep bentuk negara ini tidak diminmalisir oleh negara dapat menjadi bumerang bagi negara yang menerapkan konsep tsb.

Sebagai contoh misalnya jika konsep bentuk negara federal diterapkan pada negara indonesia pada saat ini maka akan tampak kelebihan dan kekurangan sistem tersebut.kelebihannya adalah konsep ini sangat cocok bagi negara kepulauan seperti indonesia, karena akan lebih memudahkan bagi setiap daerah untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki dan pembangunan suatu daerah pun menjadi lebih mudah dan lancar, hal ini dikarenakan daerah tidak perlu harus meminta restu/izin dari pemerintah federal untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya karena kewenangan untuk membangun sepenuhnya menjadi urusan pemerintah negara bagian .kekurangan dari sistem ini adalah lebih mudah untuk terjadinya disintegrasi , yang dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu :
1. Jika negara bagian merasa cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyat mereka sendiri , maka bisa saja negara bagian melepaskan diri dari negara federal karena mereka merasa sudah tidak membutuhkan negara federal lagi, karena segala sesuatunya sudah dapat di penuhi sendiri oleh negara bagian tersebut.
2. Jika pemerintah federal lemah (kacau), maka negara bagian lebih mudah untuk melepaskan diri untuk menjadi negara sendiri dikarenakan alasan pemerintah federal yang sedang kacau sehingga tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan negara bagian.


Sebagai contoh juga , jika konsep negara kesatuan diterapakan di indonesia saat ini maka akan tampak juga kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya adalah pemerintah lebih mudah dalam menyamaratakan pembangunan tiap-tiap daerah, sehingga kesenjangan tiap-tiap daerah dapat diminimalisir. Hal ini karena pemerintah pusat memiliki kekuasaan lebih tinggi untuk memutuskan kebijakan di tingkat daerah.jika dijelaskan dengan contoh misalnya : “dalam pelaksannaan pembangunan antara daerah A dan B, daerah A membutuhkan sumber daya yang dimana sumber daya yang dibutuhkan itu di miliki oleh daerah B ,sebaliknya daerah B juga membutuhkan sumber daya yang dimana sumber daya yang dibutuhkan daerah B ada di daerah A” , maka dalam hal ini pemerintah pusat dengan kekuasaannya dapat mengatur agar kebutuhan masing-masing daerah dapat terpenuhi sehingga pembangunan masing-masing daerah terwujud.Konsep bentuk negara ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu :
1. Pembangunan daerah berjalan lambat karena terdapat beberapa hal dalam pembangunan suatu daerah yang harus mendapatkan restu dari pemerintah pusat (misal dalam membangun daerah perbatasan harus mendapat izin dari pusat terlebih dahulu).

2.Karena negara indonesia merupakan negara kepulauan pemerintah pusat akan lebih sulit untuk mengontrol setiap pembangunan daerah satu per satu.
Jadi pada dasarnya setiap konsep bentuk negara baik itu kesatuan maupun federal adalah layak bagi indonesia karena masing-masing bentuk negara menawarkan sesuatu hal yang baik bagi terwujudnya tujuan negara indonesia , hanya saja kegagalan dan keberhasilan negara indonesia dalam mewujudkan tujuan negaranya tergantung bagaimana pemerintah negara indonesia dalam menerapkan konsep bentuk negara yang digunakan dengan memaksimalkan kelebihan-kelebihan dan meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada pada konsep bentuk negara tersebut.